Pria masa kini

colin
Di dunia ini ada cowok kece namanya Colin Wright, ga punya rumah dan ga punya kerja tetap. Ga punya pacar juga katanya. Dia buka cabang di berbagai tempat. Dan saya belum ketemu aja udah kepincut habis-habisan.
Cowok model Colin ini mungkin langsung dicoret dari daftar sama Ibu, bahkan sebelum diajak main catur lawan bapak. Apa toh yang bisa diharapkan, dia ga punya rumah, kamu mau tinggal dimana? Ga punya kerjaan mau makan dari mana?
Tapi dia ga butuh rumah, dia mengembara di berbagai tempat di dunia.
Dia ga punya kantor, tapi dia punya uang secukupnya buat jalan-jalan itu!

Sepuluh tahun yang lalu, saya membayangkan ah itu mah bule aja kali. Kita mah hepi-hepi aja beli rumah di pinggir kota. Sepuluh tahun yang lalu, yang saya inginkan cuma punya kerjaan yang oke sambil nabung buat nikah.  Karena seperti inilah rata-rata orang-orang di sekitar saya. Pencapaian-pencapaian hidupnya cukup jelas. Berkarir, berkeluarga dan berumah tangga. Sesekali liburan. Punya rumah, mobil, tabungan. Foto keluarga yang bagus.

Semua jadi berubah ketika saya memberanikan diri tinggal sendiri dan pergi jalan-jalan menyandang ransel. Menemukan keasikan bertemu orang baru, melihat tempat asing dan semua yang berbeda dari biasanya. Prioritas hidup saya tiba-tiba berubah. Saya mau pergi ke tempat-tempat yang orang lain belum pernah kesana dan berbagi cerita. Mungkin seperti ini juga yang dialami oleh Colin. Di satu titik hidupnya dia mau jalan-jalan saja, dan gapapa ga punya pacar juga, masih banyak yang mau kok #langsungdaftar

Kegiatan kepo mas Colin ini membuat saya kepikiran banyak hal. Tentang rumah tangga tadi, tentang dia yang kedinginan di tengah badai Desember Reykavik. Colin secara sadar mengikuti prioritas hidupnya. Titik pertama adalah mencari apa yang membuatnya bahagia, dan dia memilih untuk tidak terikat tempat maupun materi. Setelah itu dia menjadi kaya, berbagi cerita, pengalaman, buat orang banyak. Dia tidak lagi resah bayar cicilan rumah. Dia menulis buku gratis, berbagi ilmu desain grafis dan hidup dari orang-orang baik di setiap perjalanan.

Berkali-kali adegan ini berkelebat di benak saya.  Duduk-duduk di bar lalu ketemu Colin dan mas lainnya, sebut saja Bukan Colin. Bukan Colin boleh cerita dia manajer perusahaan garmen, punya apartemen di pusat kota dan kadang-kadang liburan kalau sedang bosen. Tapi saya sudah pasti terbius dengan Colin yang lancar berseloroh tentang kebun tengah kota Atlanta, datang ke New York tanpa telepon genggam dan museum kecil di Santiago. Tentang buku-buku dia yang murah meriah.

Apalagi Colin jago main tetris.

Mimpi Blur yang sangat jelas

Tadi malem gw mimpi ketemu Damon Albarn. Tepatnya tadi pagi setelah gw pindah tidur dari sofa ke kamar.
Baik ya ternyata Damon Albarn ituuu… Hahaha… Di mimpi itu gw ketemunya gara-gara gw nyewa cottage di sebelah cottage dia. Dari pertama udah ngomong dalam hati, itu kan artis. Tapi mau negur malu. Biasa deh, grogi gitu walopun di mimpi.
Dia kemana-mana bawa kamera gede gitu, semacam Canon 5D dengan extra battery dan vertical grip. Dia seneeengg bgt foto-foto segala macem. Dari taneman di halaman depan, sampe anak kecil yang sering mampir di area cottage pun dia foto.

Di mimpi gw, Damon Albarn hobi banget motretin rumput hijau.

Di mimpi gw, Damon Albarn hobi banget motretin rumput hijau.

Anak kecil ini semacam anaknya cleaning service gitu. Entah kenapa dia dibolehkan berkeliaran di area cottage. Namanya juga mimpi ya, suka-sukanya si anaklah. Awalnya gw bisa ngobrol sama Damon juga gara2 si anak kecil. Suatu hari setelah puas motretin si anak kecil, Damon pingin selfie bareng. Yang mana ga bisa kali ya, Canon 5 D gitu loh. Nah gw kebeneran lewat. Ga kebeneran juga sih, sengaja gitu malah. Haha. Trus dia minta difotoin deh. Pas liat hasilnya, dia suka. Trus gw bilang gw juga suka motret, tapi kamera gw mirrorless. Dari situ ngobrol-ngobrol deh. Soal foto, musik dan segala macem. Ya akhirnya gw bilanglah, gw tau kok dia Damon Albarn.
Abis itu dia mau jalan2 motret lagi. Beberapa kali papasan sama Damon, dan dia selalu negor, ngobrol2 ringan, lalu dia pasti harus kemana atau gw mau kemana. Keren juga ya klo tetanggaan sama Damon Albarn. Haha.
Di malem terakhir, kita kayak perpisahan gitu. Karena dia kan mau manggung, sambil keukeuh weh bawa itu kamera raksasa. Agak sedih juga gw, soalnya pingin lebih banyak ngobrol sama mantan vokalis Blur atuhlaahh…
Tapi akhirnya gw memberanikan diri mengajukan pertanyaan terakhir, “Can I ask you one last question?”
“Sure.”
“What’s your favorite Blur song to play?”
“Coffee and TV.”
“Why?”
“Because I like tea.”

Sebenernya gw lebih kepingin nanya gimana prosesnya itu bisa bikin lagu menyayat No Distance Left to Run. Tapi mungkin untuk nanya hal itu, harus mabuk bareng tiga sesi dulu kali ya. Ga bisa cuman ketemu hai-haian aja. Damon Albarn juga manusia, dia punya ranah pribadi yang harus dijaga. Dan gw belakangan ini belajar menjadi manusia yg bahasa Inggrisnya mah ‘considerate”. Alias selalu berusaha mempertimbangkan orang lain dalam pilihan-pilihan yang gw buat, bahkan dari keseharian gw, seperti di bis, di kereta, dsb.
Segitunya mbak, ini kan cuman mimpi doang.

Semakin mikirin Damon Albarn, semakin mikirin betapa gw suka Blur. Betapa gw suka lirik-lirik lagunya. Seharian ini jadi marathon Blur lagi walopun gw selalu skip beberapa lagu yang ironisnya adalah hitsnya Blur. Jadi ngefansnya dimana ini.. Song 2, Beetlebum, Girls n Boys, dan Country Houses selalu gw lewat karena terlalu ‘poppy’ buat telinga gw. Lebih poppy dari Poppy Mercury. Prett.

Cover single Out of time

Dan yang jadi favorit di hari ini adalah: Out of Time. Sedikit banyak gw memaknai lagu ini sesuai kegelisahan gw akhir-akhir ini. Ahem. Gw sering mikir, kenapa sih harus sibuk-sibuk amat. Bangun pagi, kerja, ketemu temen-temen, olahraga, dll. Ga bisa gitu kayak Damon Albarn di mimpi gw aja, jalan2 bawa kamera gede, motretin rumput dan anak kecil, trus malemnya main musik. Masalahnya adalah, gw ga bisa main musik. Hehe.
Nanti kapan-kapan gw tulis lebih panjang ya soal gelisah ini.

Sekarang sih, mari kita kembali ke peta-peta sambil marathon Blur. (Foto dari wikipedia).

Life essential skills: dreaming and letting go

Tahun ini saya ketemu seseorang yang bilang ingin menulis buku. Buku apa? Buku tentang mimpinya. Karena dia merasa telah melakukan berbagai pencapaian hingga ia berada disini sekarang. Lalu dia seperti mengaca ke saya, kenapa kamu ga nulis buku tentang mimpi kamu?
Saya tercekat.Terus berbagai pikiran berkecamuk di kepala saya. Bok, saya kan bukan Andrea Hirata atau mario Teguh. Siapa sih gw? *garuk-garuk kepala*

Tapi terus kepikiran lagi, hidup ini haruslah terus berbagi dan menginspirasi, ya ga sih? Apa kita mulai aja penulisan buku tentang mimpi itu ya?*garuk-garuk kepala* *ketombean kayaknya*


Cecil di Jakarta

Lalu saya flashback deh.
Kata siapa saya ga suka bermimpi. Hobinya tidur ya pasti bermimpi dong. Hihihi. Dan ya saya ada disini juga karena cukup banyak pingin ini pingin itu. Mungkin kalau pertanyaan untuk nulis buku tentang mimpi dilontarkan dua tahun yang lalu, sekitar tahun 2009, saya akan dengan antusias, ayo kita bermimpi! Tuhan begitu murah hatinya pada saya di tahun-tahun itu. Rata-rata kepinginan saya dikabulkan semua.Tapi di tahun 2010 dan 2011, saya belajar hal lain yang ternyata lebih penting dari bermimpi.

Perbandingan antara tahun 2009 dan 2010-lah yang membuat saya merasa diuji berkali-kali.
Tahun 2009: mahasiswa, miskin tapi bahagia, banyak teman, punya pacar, punya sesuatu yang dikejar semacam nilai A, pesta pora, mabuk-mabukan, pacaran, jalan-jalan dan jatuh cinta berkali-kali pada si ganteng.
Tahun 2010: pengangguran, semakin miskin dan semakin ga bahagia, kehilangan banyak teman, jomlo sejomlo-jomlonya, bingung mau ngejar apa, jarang pesta, mabuk-mabukan sih teuteup, pacaran sama tembok, ga jalan-jalan karena ga punya uang dan kehilangan sosok buat jatuh cinta.
Hah.

Saya ga ngerti, Tuhan ko tiba-tiba merenggut semua yang indah-indah di tahun sebelumnya. Ini gimana ini maksudnyaaa…
Saya bermimpi punya kehidupan yang membuat semua orang iri, tapi terus saya yang iri pada kehidupan orang lain. Saya ini maunya apa siiihhhh?? *nangis kejer*

Jadi ya begitulah. Di tahun 2010 saya mati-matian mempertahankan sikap positif saya. Saya selalu percaya semua ini ada jawabannya. Tapi rasanya lelah sekali kalau surat lamaran ditolak, pergi kencan dengan cowok-cowok buwek, lalu hau hau kangen si mantan. Energy saya habis untuk tersenyum di depan orang-orang. Di banyak titik, saya ingin berhenti, menyerah pada keadaan dan tanda tangan surat nikah. *lho?* eh salah. Ya, di banyak titik, saya ingin sekali teriak-teriak ke dunia luar, udahlah situ ga usah mimpi, life sucks anyway if you don’t get your dreams. Tapi ya enggak dong, orang lain cuman senyum-senyum penuh arti dan mereka ga ngerti kalo ada orang yang ga bisa mencapai mimpinya.

Saya ditempatkan di posisi terlalu banyak mimpi dan bingung harus ngapain untuk meraihnya. Semua usaha saya ke arah sana, seolah-olah digagalkan oleh tangan-Nya. Saat surat lamaran terakhir saya untuk magang di US ditolak, akhirnya saya ya udahlah. Mabuk-mabukan saja. Haha. Saya akhirnya pasrah dan lalu berdendang bersama Corinne Bailey Rae. Mari kita nonton konser Cranberries, jingkrak-jingkrak dan bahagia saja dengan apa yang sudah dimiliki. Syukur masih punya kerjaan, masih punya teman-teman yang seru diajak ngobrol. Dalam soal jodoh, saya bertemu seorang teman yang dengan cerdasnya bilang “Lebih seru proses pencariannya Dit, daripada pas udah nemu.” Ah, benarkah? Saya orang yang percaya pada proses, maka dari itu, yuuukkk kencan lagi. Hihi.

Attitude saya jadi sedikit berubah. Akhirnya saya berhasil kembali mencintai dunia ini, walaupun saya berpijak di bumi dan bukan terbang meraih mimpi-mimpi saya. Enak rasanya, karena bumi toh indahnya bukan main. Saya ingin pasang foto-foto liburan di tempat keren semacam di Gold Coast, tapi ya kalau memang liburannya di UK alias Ujung Kenteng, itu juga asik. Saya pingin pamer apartemen keren, tapi ya in the meantime kostan saya di Kebon Sirih sungguhlah sangat nyaman. Saya pingin pamer tanline pulang dari Bali, tapi tanline saya ini akibat sering naik ojek keliling Jakarta, tapi ya keren juga kok. We can be better, but we what we have is good enough.


Jadi saya berpikir ulang kalau harus menulis buku tentang mimpi. Saya mau nulis teenlit saja. Tentang anak remaja yang pandai bermimpi tapi juga berlapang dada akan segala perubahan dirinya.